Senin, 25 Januari 2010

Polemik Penolakan Perpu JPSK

Polemik Penolakan Perpu JPSK
oleh: Yuli Harsono*)
[Selasa, 19 January 2010]
Salah satu masalah krusial yang mencuat dari skandal Bank Century adalah status Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK). Yaitu, apakah Perpu tersebut sudah ditolak atau belum oleh DPR?


Menurut DPR, Perpu JPSK sudah ditolak pada Rapat Paripurna DPR pada 18 Desember 2008. Namun pemerintah menganggap penolakan terjadi pada 30 September 2009, yaitu pada saat DPR tidak menyetujui RUU JPSK.



Perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah tersebut setidaknya dipicu karena dua hal. Pertama, pandangan fraksi-fraksi di DPR terhadap Perpu JPSK terbelah dua. Sebagian fraksi menyetujui, namun sebagian lagi menolak. Kedua, isi surat Ketua DPR kepada Presiden tertanggal 24 Desember 2008 tidak secara tegas menolak Perpu JPSK. Dalam surat dijelaskan, Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 menyepakati untuk meminta kepada Pemerintah agar segera mengajukan RUU JPSK sebelum 19 Januari 2009. Jadi dalam surat tersebut memang tidak terdapat kata ataupun kalimat yang secara tegas menyatakan penolakan DPR atas Perpu tersebut.



Berdasarkan surat Ketua DPR itulah, pemerintah pada 14 Januari 2009 mengajukan RUU JPSK. Dalam Ketentuan Penutup RUU JPSK itu sekaligus dicantumkan klausula pencabutan Perpu JPSK. Intinya berbunyi: “Dengan berlakunya undang-undang ini maka Perpu JPSK dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sayangnya, setelah pembahasan yang cukup lama, pada 30 September 2009 DPR ternyata tidak menyetujui RUU JPSK itu. Akibatnya, klausula pencabutan Perpu JPSK dalam RUU tersebut otomatis juga tidak berlaku. Berhubung status Perpu JPSK menjadi tidak jelas setelah DPR tidak menyetujui RUU JPSK, pemerintah mengajukan RUU Pencabutan Perpu JPSK. Namun kabarnya DPR akan mengembalikan RUU Pencabutan Perpu JPSK tersebut kepada Presiden. Alasannya, karena dalam RUU Pencabutan tersebut terdapat kesalahan rujukan tanggal Rapat Paripurna.



Keberlakuan Perpu

Meski belum memperoleh persetujuan DPR, Perpu sudah berlaku pada saat ditetapkan Presiden. Namun setelah ditetapkan, menurut Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perpu harus segera dimintakan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Persetujuan DPR ini sangat penting karena DPR lah yang memiliki kekuasaan legislatif, dan yang secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa. Subyektifitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu, akan dinilai DPR apakah benar terjadi, atau akan terjadi, kegentingan yang memaksa itu. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak). Apabila DPR memberikan persetujuan, Perpu akan ditetapkan menjadi Undang-Undang. Namun sebaliknya, apabila DPR menolak maka Perpu dinyatakan tidak berlaku dan harus dicabut.



Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 hanya menyebutkan, jika Perpu tidak mendapat persetujuan DPR maka Perpu tersebut harus dicabut. Berhubung UUD 1945 hanya mengatur hal yang pokok, dalam Pasal 22 tidak diatur bagaimana mencabut Perpu dan dengan instrumen hukum apa pencabutan itu. Selain itu, tidak diatur pula kapan suatu Perpu dinyatakan tidak berlaku, apakah sejak tidak mendapat persetujuan DPR atau sejak Perpu tersebut dicabut.



Mekanisme Pencabutan Perpu

Sebelum berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, praktik pencabutan Perpu dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan menerbitkan Perpu Pencabutan. Contohnya Perpu No. 3 Tahun 1998 tentang Pencabutan Perpu No. 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun cara seperti ini jelas tidak praktis, karena selain perlu diterbitkan Perpu baru untuk mencabut Perpu, Perpu Pencabutan tersebut juga harus dimintakan persetujuan DPR pada persidangan yang berikut. Kedua, dengan menerbitkan Undang-Undang. Misalnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang didalamnya sekaligus dicantumkan pula klausula pencabutan Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.



Setelah berlakunya UU No. 10 Tahun 2004, mekanisme pencabutan Perpu diatur secara gamblang. Yaitu jika Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut tidak berlaku. Selanjutnya, Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu, yang didalamnya dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. Ini diatur dalam Pasal 25 ayat (2) dan (3) UU No. 10 Tahun 2004. Namun yang tidak jelas diatur dalam Pasal 25 tersebut adalah, apakah pencabutan Perpu dilakukan dalam Undang-Undang tersendiri yang cuma memuat klausula pencabutan Perpu. Atau, ketentuan pencabutan Perpu itu dapat digabung kedalam UU yang juga mengatur substansi.



Sepanjang pengetahuan penulis, pencabutan Perpu JPSK dengan Undang-Undang ini adalah kasus pertama kali pascaberlakunya UU No. 10 Tahun 2004. Karenanya, wajar apabila DPR agak gamang dalam menyikapi RUU Pencabutan Perpu JPSK ini. Sebab, selain merupakan pengalaman baru, DPR juga bagai makan buah simalakama. Di satu sisi, kalau DPR menyetujui RUU Pencabutan Perpu JPSK, dapat ditafsirkan DPR secara implisit mengakui Perpu JPSK masih berlaku. Namun di sisi lain, kalau tidak menyetujui RUU Pencabutan itu, DPR dapat dianggap melanggar UU No. 10 Tahun 2004, yang sudah jelas mengamanatkan Perpu harus dicabut dengan Undang-Undang.



Saran Penyelesaian

Mengenai masalah pencabutan Perpu JPSK ini, saran yang dapat disampaikan adalah, pertama, apabila DPR tidak menyetujui suatu Perpu, maka DPR harus secara tegas menyatakannya baik dalam Rapat Paripurna maupun dalam surat Ketua DPR kepada Presiden. Ketegasan ini penting agar tidak menimbulkan lagi perbedaan penafsiran atas sikap DPR terhadap Perpu yang diajukan Presiden.



Kedua, Pasal 22 UUD 1945 perlu disempurnakan. Penyempurnaan yang paling penting adalah, adanya klausula yang menegaskan kapan suatu Perpu yang sudah tidak mendapat persetujuan DPR itu dinyatakan tidak berlaku. Idealnya, sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004, Perpu demi hukum sudah tidak berlaku lagi sejak DPR tidak memberikan persetujuannya.



Ketiga, karena masalah pencabutan Perpu JPSK ini sudah berlarut-larut, maka DPR dan pemerintah perlu duduk bersama untuk mencari solusi yang terbaik. Hal ini karena DPR dan pemerintah tidak dapat mengelak ketentuan UU No. 10 Tahun 2004, yang mengamanatkan pencabutan Perpu harus dengan Undang-Undang. DPR juga tidak perlu risau apabila UU Pencabutan Perpu JPSK mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Karena secara materil, Perpu JPSK sudah tidak berlaku sejak tidak mendapat persetujuan DPR, yang menurut DPR sejak 18 Desember 2008. Sedangkan UU Pencabutan Perpu JPSK, haruslah dipandang sebagai formalitas atau masalah administratif saja.



Kalau pun, masih ada kekhawatiran, Perpu JPSK tersebut masih dianggap berlaku hingga berlakunya UU Pencabutan Perpu JPSK, maka bisa saja UU Pencabutan Perpu JPSK tersebut diberlakukan surut sampai dengan 18 Desember 2008. Meski usulan ini agak aneh karena pemberlakuan surutnya lebih dari satu tahun, tapi usulan ini mungkin saja dapat memuaskan DPR karena dapat menepis anggapan bahwa Perpu JPSK tersebut masih berlaku sampai saat ini. Lagi pula, menurut “buku putih” yang diterbitkan Departemen Keuangan, Perpu JPSK hanya digunakan pada 21 November 2008, jauh sebelum 18 Desember 2008. Setelah 21 November 2008, pemerintah menggunakan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menangani Bank Century. Dengan kata lain, jika Perpu JPSK dinyatakan tidak berlaku sejak 18 Desember 2008 nampaknya tidak akan menimbulkan persoalan.



Terakhir, dimasa mendatang klausula pencabutan Perpu sebaiknya diajukan dalam UU tersendiri, tidak digabung kedalam RUU substansi yang sekaligus memuat ketentuan tentang pencabutan Perpu. Pembahasan RUU yang hanya memuat klausula pencabutan Perpu ini, tentunya akan memerlukan waktu yang sangat singkat. Sehingga, sifat kegentingan memaksa yang melekat pada suatu Perpu dapat terjaga, yaitu tidak boleh melebihi persidangan yang berikut sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.



*) Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar